Kami masih saja berjalan telusuri raya
entah apa yang buat aku percaya pada racaunya
yang tak henti bicara soal cahaya, apalah itu namanya.
kesal dan sesal memang, tapi 9 jam bukan sebentar
ahh terlanjur..
Kaki kami sudah lebam, jemarinya pun banyak tanggal
tekadnya sudah dilapis beton, agaknya aku habis akal.
Aku paksa berhenti, dia paksa lari-lari.
Benar, kamipun berlari dengan hanya jempol dan kelingking.
Terpincang-pincang..
Entah sejak kapan, dingin berjingkrak dirusuk dan pinggul.
Ngilu, semacam dipalu dengan jutaan pilu
Sebisanya kami terus laju, kali ini terseok-seok.
kerikir tajam buat kami berdarah-darah, bagus katanya.
Kerikil merah bakal jadi petunjuk jalan pulang.
20 jam.....
kami tinggal sisa-sisa, menggelinding di tanah landai.
Dia cuma kepala, sedang aku jantung yang sedari tadi digigitnya.
Kami menggelinding sampai terbentur pintu gerbang besar.
Pintu keluar..
Pintu terbuka, kami masih bersama ditenteng pak penjaga.
Kami dibawa melewati pintu keluar, kami girang bukan kepalang.
"Sayang lihat, itu cahaya kita!" katanya.
Tapi ada rasa yang tak benar, "ada apa ini?" pikirku.
Aku semakin sulit berdetak, dia malah kelabakan dan megap-megap.
Aku tambah lemah, dia makin terpayah.
Sejurus kemudian aku berhenti dan mati, dia menganga dan mati.
Kami mati..
Tapi berhasil keluar dan lihat cahaya walau suma sebentar.
Kami mati diluar semesta gulita kepalaku..
entah apa yang buat aku percaya pada racaunya
yang tak henti bicara soal cahaya, apalah itu namanya.
kesal dan sesal memang, tapi 9 jam bukan sebentar
ahh terlanjur..
Kaki kami sudah lebam, jemarinya pun banyak tanggal
tekadnya sudah dilapis beton, agaknya aku habis akal.
Aku paksa berhenti, dia paksa lari-lari.
Benar, kamipun berlari dengan hanya jempol dan kelingking.
Terpincang-pincang..
Entah sejak kapan, dingin berjingkrak dirusuk dan pinggul.
Ngilu, semacam dipalu dengan jutaan pilu
Sebisanya kami terus laju, kali ini terseok-seok.
kerikir tajam buat kami berdarah-darah, bagus katanya.
Kerikil merah bakal jadi petunjuk jalan pulang.
20 jam.....
kami tinggal sisa-sisa, menggelinding di tanah landai.
Dia cuma kepala, sedang aku jantung yang sedari tadi digigitnya.
Kami menggelinding sampai terbentur pintu gerbang besar.
Pintu keluar..
Pintu terbuka, kami masih bersama ditenteng pak penjaga.
Kami dibawa melewati pintu keluar, kami girang bukan kepalang.
"Sayang lihat, itu cahaya kita!" katanya.
Tapi ada rasa yang tak benar, "ada apa ini?" pikirku.
Aku semakin sulit berdetak, dia malah kelabakan dan megap-megap.
Aku tambah lemah, dia makin terpayah.
Sejurus kemudian aku berhenti dan mati, dia menganga dan mati.
Kami mati..
Tapi berhasil keluar dan lihat cahaya walau suma sebentar.
Kami mati diluar semesta gulita kepalaku..